60 Tahun Perang Korea

Obat Ejakulasi Dini
Anti septik Bikin Rapet Lagi
Perang Korea - 60 Tahun Perang Korea, siapa yang Melepaskan Tembakan Pertama?. “MENURUT laporan Angkatan Darat Korea (Selatan) yang sebagian telah dikonfirmasi laporan penasihat lapangan dari Grup Penasihat Militer AS di Korea (AMAG), angkatan bersenjata Korea Utara telah menginvasi wilayah Republik Korea (Korea Selatan) di beberapa titik pada pagi hari ini. Aksi tersebut dimulai pada pukul 4.00 dinihari.



Ongjin diledakkan oleh artileri Korea Utara. Sekitar pukul 6.00 pagi infanteri Korea Utara melewati garis perbatasan 38th parallel di sekitar kawasan Ongjin, Kaesong dan Chunchon, sementara pendaratan pasukan amphibi menurut laporan terjadi di selatan pantai timur Kangnung. Dilaporkan bahwa Kaesong jatuh pada pukul 9.00 pagi dengan puluhan tank Korea Utara berpatisipasi dalam operasi itu. Angkatan bersenjata Korea Utara didahului armada tank dilaporkan tengah mendekati Chunchon. Detil mengenai pertempuran di daerah Kangnung masih belum jelas walau pun tampaknya Korea Utara telah memotong jalan utama. Saya terus mendiskusikan perkembangan situasi dengan penasihat-penasihat lapangan AMAG. Dari bentuk dan cara-cara yang dilakukan dalam serangan tampaklah bahwa ini adalah serangan besar-besaran (all out offensive) terhadap Republik Korea.”

–Muccio.

Pagi, 25 Juni 1950, pesan itu dikirimkan Dutabesar AS John J. Hal ini adalah Berita Hot untuk Muccio untuk Korea Selatan yang berkantor di Seoul ke Washington DC. Kabar dari Muccio inilah yang kelak dijadikan tanda waktu resmi yang mengawali apa yang kemudian disebut Perang Korea, perang paling mematikan yang pertama kali meledak seusai Perang Dunia II. Juga, ini adalah proxy war pertama yang pecah di era Perang Dingin antara dua kubu pemenang Perang Dunia II, Amerika Serikat yang memimpin Blok Barat dan Uni Soviet yang memimpin Blok Timur. Setidaknya 2,5 juta orang tewas dalam perang yang berakhir setelah kedua kubu menandatangani perjanjian damai pada 27 Juli 1953.

Dua pekan setelah kabar yang dikirimkan Muccio ke Washington DC, PBB turun tangan. Dalam Resolusi 84 Dewan Keamanan PBB yang diadopsi tanggal 7 Juli 1950, PBB mengecam serangan itu dan menyebutnya sebagai tindakan yang merusak perdamaian. PBB selanjutnya mengajak anggota PBB membantu Korea Selatan dan juga memerintahkan Amerika Serikat membentuk dan memimpin semacam komando pasukan multinasional dengan menggunakan bendera PBB. Resolusi PBB itu didukung oleh Inggris dan Taiwan yang menduduki kursi Republik Rakyat China, Kuba, Ekuador, Perancis dan Norwegia, selain tentu saja Amerika Serikat yang sejak Perang Dunia II berakhir menduduki belahan selatan Semenanjung Korea. Mesir, India dan Yugoslavia memilih abstain dalam pemungutan suara. Sementara Uni Soviet memveto dan memboikot pemungutan suara itu. Soviet yang sejak Perang Dunia II berakhir menduduki wilayah utara Semenanjung Korea juga memprotes PBB karena mempersilakan Taiwan menduduki kursi anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang seharusnya diduduki RRC.

Menyusul Resolusi DK PBB ini maka satu persatu negara sekutu Amerika Serikat merapatkan barisan dan bergabung bersama Amerika Serikat di bawah panji PBB. Selain tiga anggota tetap DK PBB, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Korea Selatan dibantu oleh Australia, Belgia, Kanada, Kolombia, Ethiopia, Yunani, Luksemburg, Belanda, Selandia Baru, Filipina, Afrika Selatan, Thailand, dan Turki. Lima negara lain, yakni Norwegia, Swedia, Denmark, Italia dan India hanya mengirimkan pasukan medis.

Adapun Soviet dan Republik Rakyat China tentu saja mendukung penuh Korea Utara. Soviet menurunkan 26 ribu tentara, sementara China menurunkan hampir satu juta, yakni 926 ribu tentara. Korea Utara sendiri kala itu memiliki 260 ribu tentara. Total pasukan yang dimiliki kubu ini sebesar 1,2 juta tentara.

Kekuatan, setidaknya jumlah personel kedua kubu yang berperang, sebetulnya relatif seimbang. Pasukan multinasional yang dipimpin Amerika Serikat juga memiliki 1,2 juta tentara. Korea Selatan ketika itu memiliki sekitar 600 ribu tentara. Sementara Amerika Serikat menyumbangkan 480 ribu tentara, diikuti Inggris (63 ribu), KAnada (26 ribu), Australia (17 ribu), Filipina (7 ribu), Turki (5 ribu), Belanda (4 ribu), Perancis (3 ribu) dan Yunani (2 ribu). Negara-negara lain masing-masing mengirimkan sekitar seribu tentara.

Setidaknya sebanyak 36.516 warga AS, termasuk 2.830 non-kombatan, tewas di arena Perang Korea. Awalnya di Amerika Serikat, publik yang masih mabuk pada kemenangan di teater Perang Dunia II menganggap bahwa perang di Semenanjung Korea adalah kelanjutan dari perang sebelumnya. Dukungan diberikan tidak hanya oleh kelompok militer dan keluarga mereka, tetapi juga oleh masyarakat sipil yang menganggap Perang Korea, seperti halnya Perang Dunia II, adalah perang yang tidak dapat dihindarkan, perang yang memang menjadi kewajiban sejarah. Ini adalah perang yang menentukan hidup dan mati, dengan kata lain, dalam perang ini pun kalau tidak membunuh, tentu akan dibunuh.

Tidak sedikit warganegara Amerika Serikat ketika itu menganggap negara mereka adalah penyelamat dunia dari kehancuran, dan memandang bahwa tragedi kemanusiaan yang ditorehkan setiap pertempuran, termasuk misalnya tragedi yang mengiringi pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945, sebagai konsekuensi yang harus diambil untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran.

Kelak di Amerika Serikat perang ini akan dikenal sebagai Perang yang Dilupakan (the Forgotten War) atau Perang yang Tidak Diketahui (the Unknown War). Pada tanggal 27 Juni, Presiden Truman memerintahkan angkatan perang Amerika Serikat membantu rezim Rhee di Korea Selatan. Sementara itu berbagai pembicaraan dengan Dewan Keamanan PBB dilakukan secara simultan. Di hari yang sama dengan pidato Presiden Truman, DK PBB mengeluarkan Resolusi 82 yang isinya merekomendasikan beberapa negara yang akan mengirimkan pasukan untuk memperkuat Korea Selatan.

Tanggal 4 Juli 1950, pemerintah Uni Soviet mengecam keterlibatan Amerika Serikat. Intervensi ini menurut Soviet akan memperburuk keadaan. Tetapi Amerika Serikat bersikeras ikut campur dalam krisis di Semenanjung Korea. Masyarakat sipil Amerika Serikat yang, seperti disebutkan di atas, umumnya memandang bahwa perang yang tengah berkecamuk di Korea adalah bagian dari perang besar sebelumnya, juga memberikan restu dan mengelu-elukan tentara Amerika Serikat yang dikirim ke sana. Setidaknya, untuk sementara.

Di Amerika Serikat ada beberapa monumen yang didirikan untuk mengenang Perang Korea. Yang terbesar tentu saja Korean War Veterans Memorial di National Memorial Park, Washington DC, yang saya kunjungi Februari 2009 lalu. Lokasinya tak jauh dari Lincoln Memorial, di sayap kanan Reflecting Pool yang memanjang ke arah Capitol Hill. Berbentuk segitiga yang memotong sebuah lingkaran memorial park itu terdiri dari empat bagian utama.

Pertama, Kolam untuk Mengenang (Pool of Remembrance, yang di beberapa tepinya tertulis jumlah korban perang, baik yang tewas, menjadi tawanan, maupun hilang, dari pihak pasukan multinasional dan Amerika Serikat. Di dekat salah satu plakat tertulis kalimat “Our nation honors her sons and daughters who answered the call to defend a country they never knew and a people they never met.”

Bagian kedua adalah taman berbentuk segitiga tempat sebanyak 19 patung stainless steel. Patung-patung ini menggambarkan pasukan Amerika Serikat dari berbagai divisi yang terlibat dalam perang dengan ukuran yang sedikit lebih besar dari ukuran manusia dan berat masing-masing mencapai 500 kilogram.

Dinding tebal yang merupakan bagian ketiga dari memorial park ini menampilkan bayangan tentara dan rakyat sipil dengan tulisan dalam ukuran besar “Freedom is Not Free”. Sementara bagian terakhir adalah nama dan bendera negara-negara yang mendukung Resolusi 84 DK PBB, atau dengan kata lain, yang menjadi bagian dari pasukan multinasional pimpinan Amerika Serikat.

Memorial lain untuk mengenang Perang Korea terdapat di Negara Bagian Washington, persisnya di East Campus Plaza di sebelah jembatan Capitol Way. Memorial ini diberi nama “Korean War Veterans Memorial 1950-1953, The Forgotten War” dan khusus untuk mengenang tentara asal Washington yang meninggal dalam perang itu. Sebanyak 122 ribu tentara asal Washington bertugas di Korea selama perang. Dari jumlah itu, sebanyak 532 tentara asal Washington tewas.

Boleh saja, sejarah konvensional mencatat bahwa Perang Korea dimulai ketika pasukan Korea Utara menyerang wilayah Korea Selatan sebelum ayam berkokok tanggal 25 Juni 1950. Namun sesungguhnya, kapan dan siapa yang pertama kali memulai serangan masih menjadi kontroversi.

Bagi pihak Korea Utara, juga Soviet dan China, serangan yang dilancarkan pasukan Korea Utara pada dinihari itu adalah balasan dari serangkaian provokasi kubu Amerika Serikat dan pemerintahan boneka mereka di Korea Selatan yang dipimpin Syngman Rhee.

“Sekarang telah diketahui secara luas bahwa Perang Korea bukan hasil dari sebuah serangan yang tiba-tiba di Semenanjung Korea pada pagi hari 25 Juni 1950,” tulis Dr. Channing Liem dalam bukunya The Korean War, an Answered Question (1993).

Liem adalah mantan Dutabesar Republik Korea (Korea Selatan), ya Korea Selatan, di PBB pada tahun 1960 hingga 1961. Lahir di utara Korea setahun sebelum Rusia menganeksasi Semenanjung Korea pada 1910, Liem sempat mengecap pendidikan di Amerika Serikat. Tahun 1934 dia lulus dari Lafayette College dan melanjutkan pendidikannya ke Theological Seminary di New York. Tahun 1941 ia kuliah di Princeton University. Gelar Ph.D diraihnya pada 1945 bersamaan dengan berakhirnya masa pendudukan Jepang di Semenanjung Korea.

Tahun 1948, Liem kembali ke Korea, tepatnya ke wilayah selatan Korea yang sejak Jepang kalah perang dikuasai Amerika Serikat. Di selatan, ia bekerja sebagai penasihat pemerintahan militer AS dan menjadi sekretaris pertama untuk So Jae-Pil yang merupakan Ketua Penasihat Jenderal John R. Hodge yang merupakan Gubernur Jenderal AS di Korea Selatan. Tahun 1948 adalah tahun terakhir Jenderal Hodge bertugas sebagai Gubernur Jenderal. Antara tahun itu sampai tahun 1950, Jenderal Hodge kembali ke Fort Bragg, Karolina Utara dan ketika Perang Korea pecah, Jenderal Hodge ditunjuk sebagai Komandan Jenderal Armada ke-3 Tentara AS yang bermarkas di Amerika Serikat.

Adapun Liem, karena kecewa dengan partisi yang dialami negerinya, memilih kembali ke Amerika Serikat di tahun 1949. Ia mengajar di Chatham College, Pittsburg, Pennsylvania. Dari Pennsylvania, ia mengibarkan bendera perlawanan menentang pemerintahan diktatoriat Syngman Rhee yang didukung Amerika Serikat.

Tahun 1960 Rhee dimakzulkan. Pemerintahan Chang Myon kemudian mengutusnya menjadi Dutabesar di PBB, New York. Tetapi itu tidak lama, karena setahun kemudian Chang Myon digusur oleh kudeta militer yang dipimpin Park Chung-Hee. Seperti pemerintahan militer Rhee, pemerintahan militer Chung-Hee ini juga didukung oleh Amerika Serikat. Dan Liem, juga seperti di masa Rhee, juga mengibarkan bendera perlawanan menentang pemerintahan Chung-Hee.

Di awal 1970an ia mulai mengkampanyekan reunifikasi Korea sebagai jalan keluar untuk menciptakan perdamaian yang sesungguhnya di Semenanjung Korea. Pada tahun 1974, istrinya, Popai Liem, mengunjungi Korea Utara. Dua tahun kemudian, giliran Liem yang menginjakkan kakinya di utara garis 38th parallel. Sejak itu, hubungannya dengan kerabat dan sahabatnya di utara semakin memperkuat keyakinannya bahwa reunifikasi harus diwujudkan. Hanya ketiadaan intervensi asing, menurut Liem, yang dapat menciptakan perdamaian di Korea.

Apa daya, saat ajal menjemput Liem belum menyaksikan negerinya kembali bersatu. Liem meninggal dunia empat tahun setelah menuliskan buku tipis The Korean War, an Answered Question ini.

Saya mendapatkan buku tipis Liem itu saat berkunjung ke Korea Utara di tahun 2003 silam, bersama sejumlah buku lain baik yang mengenai Kim Il Sung, Kim Jong Il, maupun buku-buku yang ditulis oleh cendekia-cendekia Korea yang menginginkan reunifikasi kedua negara.

Di dalam bukunya itu, Dr. Liem mengatakan Perang Korea adalah hasil dari provokasi yang terus menerus dilakukan pemerintahan militer Korea Selatan pasca Perang Dunia II dengan maksud untuk menduduki Korea Utara.

Semenanjung Korea yang memiliki garis pantai sekitar 8.460 kilometer dan ribuah pulau kecil yang terutama berada di barat dan selatan adalah usus buntu Asia Timur yang diperebutkan sejak zaman dahulu oleh bangsa-bangsa besar di kawasan itu karena posisinya yang strategis. Kekaisaran Jepang merebut Semenanjung Korea dari Dinasti Qing yang memerintah China setelah mengalahkan dinasti itu dalam perang yang terjadi tahun 1894 hingga 1896. Satu dekade kemudian, setelah mengalahkan Kekaisaran Rusia dalam perang yang terjadi antara 1904-1905 Jepang menjadikan Korea sebagai salah satu wilayah di bawah proteksinya. Tetapi lima tahun kemudian, 1910, Jepang menduduki Korea dan menjadikannya sebagai salah satu pangkalan untuk mendukung program militerisasi yang sedang dikembangkan ke Manchuria dan daratan China, untuk selanjutnya ke seluruh daratan Asia hingga kepulauan Asia Tenggara. Di saat bersamaan, Jepang juga mengembangkan sayap hingga ke Samudera Pasifik, menduduki satu persatu pulau penting yang dikuasai negara-negara Eropa di samudera itu, dan mempersiapkan serangan besar untuk menundukkan Amerika Serikat.

Di masa pendudukan Jepang, kelompok nasionalis dan cendekiawan Korea melarikan diri ke negara-negara lain. Beberapa lainnya, termasuk kelompok yang dipimpin Syngman Rhee mendirikan pemerintahan di pengasingan di Shanghai. Sementara kelompok komunis bertahan dan melakukan perlawanan gerilya. Kelompok terakhir ini dipimpin oleh Kim Il Sung.

Begitu Jepang bertekuk lutut dan menyerah kalah di bulan Agustus 1945, giliran Uni Soviet dan Amerika Serikat yang memperebutkan Semenajung Korea. Garis batas tradisional yang memisahkan Jepang dan Rusia di masa lalu, yakni garis yang terletak di titik 38 derajat Lintang Utara, kembali digunakan. Soviet mendapatkan kembali Semenanjung Korea miliknya, dan Amerika Serikat, menggantikan Jepang, mendapatkan bagian selatan.

Menurut Liem, Soviet dan Amerika Serikat menerapkan dua kebijakan yang berbeda di masing-masing tanah Korea yang mereka kuasai. Tak lama setelah “mengambil kembali” wilayah yang pernah didudukinya, Soviet angkat kaki dan meninggalkan Korea Utara yang dipimpin oleh pemerintahan yang dijalankan orang-orang Korea. Sementara Amerika Serikat menetapkan Korea Selatan sebagai salah satu pangkalan militer dan daerah penting yang harus dipertahankan. Amerika mengangkat Gubernur Jenderal, Jenderal Hodge, yang bertugas sampai Syngman Rhee terpilih sebagai presiden pertama Korea Selatan.

Nah, sejak Mei 1949 pemerintah Rhee terus melancarkan serangan ke utara, demikian Liem. Dalam sebuah pertempuran yang terjadi di bulan itu, Korea Selatan menurunkan enam armada battalion infanteri. Dalam pertempuran itu sebanyak 400 tentara Korea Utara tewas, sementara Korea Selatan hanya mengalami kerugian yang relatif keci: 22 tentara. Awalnya, Amerika Serikat tidak begitu mendukung sikap agresif pemerintahan Rhee. Namun seiring dengan waktu yang bergulir, terutama setelah mengamati bagaimana Soviet yang walaupun merupakan negara sekutu yang paling banyak dirugikan dalam Perang Dunia II berangsur pulih dari luka dan kembali menyusun kekuatan, sementara pemerintahan Mao Zedong di China juga sudah bisa mengkonsolidasi diri, Amerika Serikat mulai khawatir. Bila tak segera bertindak, bisa jadi kelak kemudian hari Amerika Serikat akan terusir dan terpaksa angkat kaki meninggalkan Semenanjung Korea.

Sejak saat itulah, perlahan tapi pasti Amerika Serikat mulai mendukung agresifitas Korea Selatan yang ditujukan ke utara. Beberapa insiden memperkuat keyakinan Amerika Serikat bahwa Korea Selatan memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dibandingkan Korea Utara.

Sampai babak ini Amerika Serikat masih memilih hati-hati. Mereka tidak mau bila Korea Selatan tertangkap basah menjadi pihak pertama yang melepaskan tembakan ke arah Korea Utara. Bila melakukan serangan lebih dahulu, PBB akan mencap Korea Selatan sebagai agresor dan keinginan Amerika Serikat menguasai seluruh Korea jadi berantakan. Itu lah sebabnya untuk beberapa lama Amerika Serikat menahan-nahan keinginan Rhee. Sejauh ini yang perlu dilakukan Korea Selatan adalah melakukan aksi provokasi dan menunggu Korea Utara terpancing. Bagaimanapun, sebaik-baiknya bukti bagi Amerika Serikat, adalah bukti yang memperlihatkan agresi Korea Utara ke wilayah Korea Selatan.

Sikap hati-hati Amerika Serikat membuahkan hasil. Dutabesar untuk Korea Muccio mengirimkan kabar ke Washington DC. Kabar ini lalu diteruskan Dutabesar Amerika Serikat untuk PBB Earnest A. Gross. Dalam pembicaraan melalui sambungan telepon dengan Sekjen PBB Trygve Lie, Gross yang mengutip laporan Muccio, mengatakan dengan pasti bahwa pasukan Korea Utara melancarkan serangan besar-besaran ke Korea Selatan.

“Korea Utara telah menginvasi teritori Republik Korea di beberapa titik dinihari tadi. Sebuah serangan yang melanggar perdamaian dan merupakan tindakan agresi,” ujar Gross sambil meminta agar DK PBB segera menggelar pertemuan.

Menurut Dr. Liem, Dubes Gross telah membelokkan kabar Dubes Muccio. Dalam laporannya, Muccio menggunakan istilah “partly” atau sebagian untuk menjelaskan bahwa baru sebagian dari informasi mengenai serangan Korea Utara yang telah “dikonfirmasi laporan penasihat lapangan dari Grup Penasihat Militer AS di Korea (AMAG)”. Sementara Gross dalam laporannya kepada Sekjen Lie mengabaikan kata itu danmenegaskan bahwa Korea Utara telah nyata-nyata melakukan agresi dan karenanya DK PBB harus bertindak tegas.

Pembicaraan via telepon antara Dubes Gross dan Sekjen Lie ini dikutip Dr. Liem dari buku yang ditulis jurnalis I.F. Stone, Hidden History of Korean War, yang juga mempersoalkan isi laporan Dubes Gross kepada Sekjen Lie.

Namun menurut hemat saya, kalkulasi Dr. Liem mengenai pesan Dubes Muccio untuk Washington DC yang selanjutnya dikutip Dubes Gross dalam laporannya kepada Sekjen Lie, terdengar naïf karena mengandaikan bahwa hanya Amerika Serikat yang berkepentingan dengan “bukti legalitas” agresi Korea Utara.

Peta politik di tubuh PBB yang mencerminkan fragmentasi politik global di awal Perang Dingin memperlihatkan bahwa lembaga itu pun tengah mencari bukti serupa untuk melegalkan tekanan kepada Korea Utara. Dengan demikian, bagaimanapun bentuk kalimat laporan Dubes Gross untuk Sekjen Lie menjadi tidak penting, atau setidaknya tidak begitu penting. Laporan Dubes Muccio yang dikutip Dubes Gross pun tidak bermaksud untuk menimbulkan kebimbangan dan keraguan yang akan membuat pemerintah Amerika Serikat mengambil keputusan setelah keraguan itu terjawab. Penggunaan kata “partly” dalam laporan Muccio tidak berarti bahwa Korea Utara belum melakukan agresi militer yang sempurna ke wilayah Korea Selatan. Kata itu tidak penting. Dengan melaporkan serangan Korea Utara itu, Dubes Muccio ingin menginformasikan kepada pengambil kebijakan di Washington DC bahwa bukti legal serangan Korea Utara telah ditemukan. Laporan ini yang kemudian diteruskan Washington DC kepada Dubes Gross di PBB dan selanjutnya disampaikan Dubes Gross kepada Sekjen Lie, kepada dunia internasional (kubu Barat) yang sedang mencari-cari bukti untuk melegalkan tekanan kepada Korea Utara.

Tetapi Dr. Liem sungguh serius dengan kalkulasi ini. Ia menuliskan, bukti lain yang menguatkan teori tentang keinginan Amerika Serikat menutupi skala serangan Korea Utara ketika itu adalah fakta bahwa laporan yang disampaikan Dubes Muccio untuk atasannya, pejabat-pejabat Deplu di Washington DC, ditutupi selama lebih dari sebulan. Ketika isi lengkap laporan Muccio yang berisi 171 kata itu akhirnya dibuka, pasukan multinasional pimpinan Amerika Serikat yang menggunakan bendera PBB telah mengkonsolidasi diri, dan perang telah terlanjur berkobar.

Ketika membaca bagian ini ingatan saya terbawa pada peristiwa di bulan Februari 2003, ketika Menteri Luar Negeri AS Colin Powell berbicara di depan Dewan Keamanan PBB. Ia menyampaikan analisa pemerintahan George W. Bush mengenai upaya Irak mengembangkan senjata pemusnah massal. Analisa itu, demikian Powell, didukung oleh laporan-laporan intelijen yang dapat dipercaya. Sebagian berasal dari laporan intelijen Amerika Serikat, sebagian lagi berasal dari negara lain dan ada juga yang berasal dari ilmuwan Irak yang menjadi korban uji coba senjata pemusnah massal.

Tetapi, seperti juga diketahui oleh Powell, sampai Baghdad diduduki dan Saddam Hussein digantung mati, Amerika Serikat tidak menemukan apa yang disebut dengan senjata pemusnah massal. Sebaliknya, yang mereka temukan adalah Irak yang kering kerontang setelah dihantam perang berpuluh tahun, mulai dari Perang Iran-Irak (1980-1988), Perang Teluk I (1991) yang disusul embargo ekonomi. Laporan yang diterima Powell nyatanya salah besar. Ia membayar mahal. Pada November 2004 Powell mengundurkan diri.

Dengan menggunakan kata naïf untuk mengomentari kalkulasi Dr. Liem, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa analisanya mengenai keinginan Amerika Serikat yang menggunakan pemerintahan militer Rhee untuk mengangkangi Semenanjung Korea tidak berarti apa-apa. Jelas kalkulasi Dr. Liem itu bermanfaat untuk menjelaskan satu hal: dunia internasional, dalam hal ini PBB yang menjadi representasinya, sangat tergantung pada Amerika Serikat sebagai pihak yang dapat memberikan “bukti legal”.

PBB memang tidak memberikan izin kepada Amerika Serikat yang membentuk pasukan multinasional untuk memukul Saddam Hussein. Menurut PBB, Resolusi 1441 yang memberikan kewenangan kepada organisasi PBB UNMOVIC dan UNSCOM serta IAEA untuk memeriksa fasilitas senjata Irak sudah cukup. Tetapi sikap diam PBB sebagai sebuah lembaga yang gagal memberikan teguran atau sanksi atas tindakan main hakim sendiri yang dilakukan Amerika Serikat juga dapat dibaca sebagai persetujuan lembaga itu terhadap semua “bukti legal” yang disampaikan Powell.Ketika bukti legal itu diketahui bohong belaka, PBB pun tidak memberikan sanksi apapun kepada Amerika Serikat.

Kembali ke Semenanjung Korea. Bagi PBB, laporan Dubes Muccio yang dikirimkan ke Washington DC untuk selanjutnya diteruskan kepada Dubes Gross dan disampaikan kepada Sekjen Lie cukup memadai untuk digunakan sebagai dasar hukum memberi pelajaran bagi Korea Utara. Bagi dunia internasional yang dikuasai kubu Amerika Serikat, Perang Korea dimulai ketika Korea Utara melancarkan “serangan pertama” pukul 4.00 dinihari di Ongjin, 25 Juni 1950.

Bagi Pyongyang, perang sesungguhnya terjadi dua hari sebelum itu. Pukul 10.00 pagi, 23 Juni 1950, pasukan Korea Selatan menyerang pertahanan Korea Utara di Semenanjung Ongjin, menghujaninya dengan howitzer 105mm selama enam jam. Itu bukan serangan pertama yang dilancarkan Korea Selatan, tetapi merupakan serangan yang berlangsung paling lama.

Melihat sifat dan karakternya, Korea Utara memperkirakan bahwa serangan pada pukul 10.00 pagi tanggal 23 Juni itu barulah appetizer yang akan mengawali serangkaian serangan besar yang tengah dipersiapkan Amerika Serikat dan Korea Selatan. Perkiraan itu semakin kuat bila dikaitkan dengan kunjungan Utusan Menlu AS John Foster Dulles beberapa waktu sebelumnya ke Korea Selatan dan ke garis perbatasan 38th parallel. Faktanya lagi, sejak menduduki selatan Korea, Amerika Serikat membangun kekuatan militer yang luar biasa besar di kawasan itu.

Maka demikianlah, dengan maksud mementahkan rencana perang besar yang tengah dipersiapkan pihak lawan, dinihari 25 Juni 1950 Korea Utara memutuskan untuk melancarkan serangan balasan. Kelak, Korea Utara mengatakan bahwa dugaan mereka tentang perang besar yang disiapkan Korea Selatan dan Amerika Serikat terbukti benar. Dalam laporan di tahun 1979 yang dikutip Dr. Liem, pemerintah Korea Utara mengatakan:

“Tentara boneka (tentara Republik Korea) meluncurkan serangan pada dinihari sepanjang 38th parallel, masuk atara satu hingga dua kilometer ke dalam teritori wilayah utara ke arah Haeju, Kumchon dan Cholwon. Di sektor barat Resimen ke-17 Divisi Metropolitan boneka menyerang ke arah Taetan dan Pyoksong, Divisi Infanteri ke-1 masuk dari Kaesong ke tiga arah, dan Divisi Infanteri ke-7 mengarah ke Ryonchon. Di sektor timur Divisi Infanteri ke-6 bergegas menuju Hwachon dan Yanggu, dan Divisi Infanteri ke-8 dari tiga arah menuju Yangyang di pantai timur. Sebuah perintah telah dikeluarkan untuk Tentara Rakyat Korea dan Angkatan Pertahanan Republik untuk menghentikan gerakan musuh dan melakukan serangan balasan besar sekaligus, dan selanjutnya memulai Perang Pembebasan Tanah Air melawan invasi militer Amerika Serikat dan sekutunya.”

Di kutip dari berbagai sumber!!! Btw lebih baik baca Cerita Lucu Banget atau bikin Syair Untuk Sahabat aja dari pada perang, atut ah.

Berita Hot!!!

0 komentar:

Posting Komentar

Hallo teman2...siapapun dapat berkomentar di sini namun harap tidak mencantumkan URL website/blog yah,...karena tidak akan di publish...mohon maaf atas tidak kenyamanan ini ^_^